Edit Me...

Thursday, October 4, 2012

Kaum Tuli Menuntut Akses Pendidikan

Oleh Surya Sahetapy


Semua manusia memiliki impian. Tak terkecuali, mereka penyandang disabilitas. Mereka ingin hidup mereka seperti manusia lainnya. Mampu merasakan mimpi menjadi orang yang sempurna, menikmati indahnya hidup.

Untuk mewujudkan impian itu, maka butuh proses pembelajaran. Tidak mudah meraih impian itu dengan cara-cara yang instant. Kadang butuh waktu untuk mencapai impian itu. Untuk mewujudkan impian itu, harus mempelajari, mengasah dan mengembangkan potensi yang dimiliki.

Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal. Tak sedikit di antara mereka, walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar, masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

Ketunarunguan adalah satu istilah umum yang menggambarkan semua derajat dan jenis kondisi ketunarunguan, terlepas dari penyebabnya dan usia kejadiannya. Karena keterbatasan itu, mereka membutuhkan pendekatan khusus dalam bidang pendidikan. Misalnya, jangan berbicara membelakangi anak. Namun, berbicara di depan, atau anak duduk atau berada di bagian paling depan kelas sehingga memiliki peluang untuk mudah membaca bibir pengajar.

Bila salah satu dari telinganya yang memiliki gangguan pendengaran, sebaiknya anak tersebut ditempatkan dengan posisi telinga salah satunya yang normal menghadap dengan guru agar dapat mendengar kata-kata yang diucapkannya. Perhatikan postur anak. Seringkali anak akan menggelengkan kepala untuk mendengarkan lebih baik. Dorong anak untuk selalu memperhatikan wajah guru dan bicaralah dengan anak secara berhadapan. Dan, bila memungkinkan kepala guru sejajar dengan kepala anak, berbicara dengan volume biasa tetapi gerakan bibirnya harus jelas.

Beberapa karakteristik Anak Tunarungu:

1. Tidak mampu mendengar,

2. Terlambat perkembangan bahasa

3. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi

4. Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara dengan gerak bibir cepat

5. Pengucapan kata tidak jelas

Banyak orang memiliki gangguan pendengaran biasanya disebut tuli atau tunarungu. Itu bisa terjadi ketika beranjak remaja atau dewasa disebabkan berbagai macam faktor yang menyebabkan gangguan pendengaran, seperti gangguan saat hamil, panas tinggi, kecelakaan dan sebagainya. Sebenarnya gangguan pendengaran bisa dibedakan yaitu tuli berat (deaf) dan tuli ringan (hard of hearing).

Kaum tuli berat biasanya menggunakan bahasa isyarat sebagai komunikasi atau juga berbicara layaknya orang normal jika diberi aksesbilitas seperti Alat Bantu Dengar (Hearing Aid) dan “speechtherapy”. Sedangkan kaum tuli ringan bisa dimaksimalkan dengan Alat Bantu Dengar sehingga bisa mendengar suara atau ucapan seseorang.

Hal ini jarang untuk menemukan solusi agar sembuh dari gangguan pendengaran.Tetapi, itu belum mencerminkan bahwa kaum tuli mendapatkan kesejahteraan karena kurangnya pendidikan untuk kaum tuli di Indonesia.

Sebelum kita memasuki topik, saya memiliki pengalaman sebagai tunarungu. Sejak lahir, saya divonis tunarungu. Saya sempat dimasukkan ke TK umum. Ternyata takdir berkata lain bahwa saya menyelesaikan TK umum tidak cukup membantu saya untuk melanjutkan SD (Sekolah Dasar) dan saya dipindahkan ke Sekolah Luar Biasa bagian B yang terletak di Jakarta Barat. Sekolah itu memiliki program yang menjanjikan untuk kaum tuli yaitu menyediakan terapis wicara dengan fasilitas yang baik.

Di sana, saya hanya menyelesaikan 2 tahun di TK kemudian dilanjutkan ke SD umum. Berkat hasil rapor sekolah yang baik, membuat saya hanya menyelesaikan 6 tahun di SD. Padahal, seharusnya siswa tuli menyelesaikan SD selama 8 tahun. Di sana saya banyak belajar berbicara, membaca buku dan baca bibir.

Setelah menyelesaikan 8 tahun di SLB/B, saya melanjutkan ke SMP umum karena mengikuti keinginan orangtua agar saya dapat meningkatkan kepercayaan diri untuk berbaur dengan teman normal. Sebelumnya saya berpikir semua akan mudah karena berkat belajar banyak di sekolah sebelumnya. Ternyata itu tidak cukup membantu saya untuk berkomunikasi dengan teman di sekolah dengan lancar karena membutuhkan adaptasi.

Saat hari pertama sekolah, saya tidak banyak bicara karena di antara saya banyak teman sekolah berbicara terlalu cepat, gerak baca bibir sulit dibaca. Setelah melewati hari demi hari dengan diam seribu bahasa, saya diperkenalkan oleh guru kepada teman-teman dan menceritakan asal usul kendala yang saya hadapi. Saya tidak mengungkapkan bahwa saya tuli. Tetapi, ada salah satu menanyakan tentang suatu benda yang ada di daun telinga saya. Saat ditanyakan tentang itu, membuat saya berdebar-debar. Saya sulit menjawab pertanyaan, dan akhirnya memberitahu kepada semua teman yang ada di kelas bahwa benda yang ada di telinga untuk membantu saya mendengar, teman-teman yang ada di kelas itu merasa terkejut dan aneh dengan pernyataan dan kemudian kelas menjadi sunyi.

Akhirnya saya langsung dipersilakan oleh guru untuk duduk. Setelah kejadian itu, pada saat istirahat banyak teman menghampiri saya menanyakan tentang diriku. Itu cukup membuat saya terusik. Itu adalah pengalaman buruk yang memberi banyak hikmah, buktinya selama 3 tahun di SMP umum, saya mampu beradaptasi dan melakukan segala hal seperti teman saya.

Walaupun saya menyelesaikan masa SMP umum itu, sekolah tersebut masih kurang untuk menangani kaum tuli seperti saya terutama bahasa Inggris, bahasa Inggris adalah bahasa paling sulit yang pernah ada untuk saya karena sebelumnya di sekolah dasar luar biasa, saya belum pernah menyentuh bahasa tersebut. Setelah lulus dari SMP, saya memilih melanjutkan SMA homeschooling karena saya sendiri memiliki gangguan kesehatan, membuat saya tidak berani mengambil risiko untuk melanjutkan ke sekolah umum.

Setelah masuk di organisasi Yayasan Tunarungu Sehjira yang dipimpin oleh ibu Rachmitha M.H yang biasa disapa Ibu Mitha, saya banyak belajar tentang dunia disabilitas termasuk tunarungu. Pada awalnya, saya mengira dunia tunarungu itu tidak semudah yang kita kira. Ternyata jauh lebih dalam dan masih banyak masalah-masalah yang belum teratasi sampai saat ini. Bersama Yayasan Tunarungu sehjira, saya banyak belajar tentang advokasi atau semacam training singkat untuk membantu teman-teman tuli agar tampil lebih percaya diri dan memiliki niat untuk mencapai impiannya dengan cara belajar dengan baik, berusaha dan berdoa untuk memaksimalkan diri menjadi pelajar terbaik di masa depan. Itu membuktikan bahwa pendidikan masih didominasi non-tunarungu karena minimnya guru disabilitas dalam mengajar sehingga terjadi kekurangan dalam hal materi belajar.

Proses pelajaran itu dimulai dari pendidikan, berdasarkan penelitian dari organisasi-organisasi kaum tuli ternyata kemampuan membaca tunarungu masih lemah. Oleh karena itu, kaum tuli dipaksakan untuk menguasai kemampuan berbicara seperti baca bibir dan bicara secara verbal/oral, sehingga kemampuan membaca dikesampingkan. Kaum tuli dituntut untuk menguasai kemampuan berbicara justru menghambat kemampuan membaca, ibaratnya kita membeli mobil tanpa ban.

Walaupun kaum tuli tidak dapat berbicara seperti orang normal tetapi membaca atau menulis dengan menggunakan tata bahasa baik dan benar, sudah tergolong kaum tuli yang cerdas.

Kemudian cara mengatasi masalah adalah menyediakan bahasa isyarat nasional, bahasa isyarat nasional merupakan komunikasi paling sederhana dan gratis. Jika kita bandingkan kaum tuli mengeluarkan biaya kurang lebih puluhan juta demi membeli alat bantu dengar supaya bisa mendengar dan berbicara, tetapi itu belum cukup untuk mencapai titik sempurna karena kemampuan mendengar dan berbicara harus dilatih yang membutuhkan waktu yang lama.

Mari kita melihat kondisi ekonomi Indonesia. Indonesia tergolong negara berkembang tahap awal. Jadi, kita tidak perlu memaksakan kaum tuli untuk membeli alat bantu dengar yang biayanya cukup mahal untuk mencapai kriteria menjadi bangsa Indonesia yang cerdas kecuali ada acara amal alat bantu dengar gratis dan sejenisnya untuk kaum tuli yang kurang mampu.

Menurut pendapat kaum tuli lainnya, bahasa isyarat merupakan bahasa yang paling mudah untuk berkomunikasi daripada menggunakan baca bibir yang harus membutuhkan konsentrasi tinggi agar lebih mengerti.

Tetapi bahasa isyarat nasional tentunya bahasa isyarat Indonesia ternyata ada 2 jenis yaitu SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) dan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia). Program SIBI baru berdiri sejak tahun 1994 dan diakui mulai tahun 2001, SIBI sudah diterapkan sekolah-sekolah luar biasa bagian B di Indonesia ternyata masih jauh dari sukses, karena dalam SIBI terdapat sistem bahasa isyarat yang memiliki imbuhan sehingga menyulitkan kaum tuli untuk berkomunikasi sehingga berperan kemampuan membaca menjadi lemah. Sedangkan BISINDO sudah berdiri sejak lama dan sistem itu dapat dipahami walaupun tidak dipadukan dengan bicara secara verbal.Tetapi program BISINDO masih kurang jika dibandingkan dengan SIBI yang telah difasilitasi secara lebih baik seperti video, kamus, trainer dan sebagainya.

Hal ini cukup membuat situasi menjadi sulit karena 2 bahasa itu terlanjur disebarluaskan sejak lama sehingga menimbulkan konflik dalam komunikasi seperti terdapat 2 kelompok di antara kaum tuli menggunakan SIBI dan BISINDO, ketika kedua kaum tuli itu saling berkomunikasi tidak dapat menggunakan bahasa isyarat hanyalah bicara secara oral dan tulis kertas membantu keduanya untuk saling mengerti. Sungguh menyayangkan sebagai sesama bangsa Indonesia ternyata kaum tuli yang menggunakan bahasa berbeda-beda yang tidak dapat disatukan.

Selain itu, adanya bahasa isyarat dapat menciptakan lapangan kerja seperti penerjemah bahasa isyarat (interpreter), kaum tuli sangat membutuhkan penerjemah bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan orang normal. Jika tanpa penerjemah, kemungkinan besar kaum tuli terlibat kesalahapaham dalam pembicaraan dengan orang normal, maka tenaga penerjemah perlu dimanfaatkan. Sayangnya, penerjemah bahasa isyarat di Indonesia tergolong minim justru membuat kaum tuli lainnya harus ikut terapis wicara yang membutuhkan biaya dan waktu yang lama agar bisa bicara layaknya normal.Oleh karena itu, kita seharusnya membuka pelatihan bahasa isyarat untuk orang yang menganggur agar menjadi penerjemah bahasa isyarat yang professional baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa internasional.

Dengan harapan ini masalah tersebut mungkin dapat diatasi dengan cara menggelar konferensi untuk kaum tuli. Hal ini perlu dilaksanakan di masa mendatang agar meningkatkan generasi muda kaum tuli menjadi lebih cerdas dan sejahtera.

Nota Bene: Jika pembaca merasa keberatan dengan tulisan yang dianggap tersinggung, dan tetap bersikeras untuk menghapus tulisan tersebut, mohon hubungi saya via twitter @suryasahetapy demi mempertahankan solidaritas kita sebagai bangsa Indonesia dan kaum tuli Indonesia.

 

1 comments:

A well-elaborated idea Surya. Your writing opens new horizon on the challenges in teaching language to hearing impaired students. It made me eager to learn new methods of teaching.

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More